Bagi orang supersize seperti saya,
adalah suatu berkah jika badan mudah berkeringat karena itu berarti pembakaran
kalori berjalan baik. Namun adakalanya hal itu jadi sesuatu yang mengganggu,
seperti saat shalat karena badan terasa kurang nyaman. Sering saya menghibur
diri sendiri, dengan menganggap banyaknya keringat saat shalat adalah ujian
Allah agar dosa saya berkurang.
Namun ada dua kejadian yang menjadikan urusan
keringat itu jadi penambah ibroh kehidupan, minimal untuk saya sendiri.
Alkisah, sekitar pertengahan bulan Oktober
2011, dalam kondisi cuaca yang gerah karena hujan hendak turun, saya sedang
dalam perjalanan dari sekitar Waru menuju Dinoyo. Saat itu sekitar jam 3
sore, sesaat sebelum adzan Asar berkumandang. Cuaca sedang
gerah-gerahnya. Keringat seperti lahar dingin saja mengalir di sekujur tubuh.
Very inconvenience!
Adzan sudah berkumandang. Saya masih menyetir,
sambil berpikir untuk mencari masjid yang ada AC-nya. Saya pikir tidak ada
salahnya mencari masjid yang ber-AC agar shalat saya khusuk tidak terganggu keringat
yang deras mengucur. Sempat muncul rasa bersalah, karena hal itu berarti saya
membuang beberapa saat dan tidak mencari masjid terdekat, agar tidak tertinggal
takbiratul ihram. “Kalaupun tertinggal, tidak lama-lama amat”, kata batin saya.
Pikiran mencari masjid yang sejuk benar-benar mengalahkan niat mencari
keutamaan shaf awal shalat jamaah. “Ah, sekali ini tidak mengapa shalat telat,
asal sejuk”, pikir saya lagi, mencari pembenaran. Saya pun melewatkan beberapa
masjid yang bersahut-sahutan mengumandangkan adzan, bahkan beberapa sudah
iqamah, untuk mencari masjid yang ada AC-nya!
Akhirnya saya sampai di masjid sebuah komplek
sekolah Islam di kawasan Gayungsari, yang setahu saya ber-AC. Iqamah sudah
sekian menit lalu, artinya saya sudah ketinggalan shalat jamaah cukup lama.
Betul saja, setelah wudhu dan masuk masjid ternyata saya berada di shaf keenam,
dan tinggal rakaa’at terakhir! Agak menyesal juga hati kecil saya, karena jika
tadi saya memilih masjid lain sebelum masjid ini, insya Allah saya mendapat
shaf lebih awal. “Tapi tak masalah, toh saya menemukan masjid adem ini,” begitu
pikir saya.
Adem? Wait a minute. “Sudah jalan dua raka’at
kok keringat malah tambah deras mengucur?”, pikir saya heran. Sampai akhirnya
saat salam saya melihat banyak jamaah menoleh ke kiri kanan arah atas, melihat
AC. Ternyata mati! Pantas saja rasanya menyiksa, lha wong ruangan
tertutup rapat dengan AC mati. Sama saja sauna!
Pikiran saya langsung flashback ke
beberapa saat lalu, ketika niat saya mencari pahala shalat di awal waktu
terkalahkan oleh keinginan mencari masjid adem. Ternyata beginilah cara Allah
menegur saya. Dengan mematikan AC masjid incaran saya! Malu, kecut, sumuk,
bercampur aduk jadi satu di badan dan hati saya. Bergegas saya keluar masjid,
tanpa sempat menyelesaikan dzikir. Soalnya masjid makin pengap dan panas!
Saya mendapati kejadian vice versa alias
berkebalikan pada hari Jumat terakhir tahun 2011. Dalam situasi yang hampir
mirip, hanya bedanya saat itu menjelang shalat Jumat. Cuaca menjelang
hujan, udara lembab dan alhasil badan pun mulai bereaksi untuk memompa bulir
keringat melalui pori-pori kulit. Gerah!
Saya sedang berkendara menuju kantor ketika
beberapa masjid sudah mengumandangkan tilawah alias beberapa menit lagi masuk
waktu shalat Jumat. Kali ini, entah karena iman sedang di level tinggi atau
memang hati sedang mood, saya tidak berpikir lama dan segera mencari
masjid terdekat untuk mengejar shaf pertama. Ber-AC atau tidak masjidnya, saya
tidak ambil pusing. Pokoknya shaf pertama! Saya pun ingat sabda Rasulullah,
pahala shaf pertama itu seperti mendapat hadiah unta. Shaf kedua mendapat
kambing, shaf ketiga ayam, shat keempat telur. Entah apa yang didapat penghuni
shaf kelima dan seterusnya.
Alhamdulillah, sebelum adzan berkumandang saya
sudah masuk ke sebuah masjid di kawasan Ketintang. Dulu saya pernah shalat di
masjid ini, dan setahu saya tidak ada sesuatu yang spesial dari masjid ini
kecuali saya kenal beberapa ustadz penceramah rutinnya. Ber-AC? Rasanya tidak.
“Masa bodo, pokoknya shaf pertama. Hidup shaf pertama, merdeka!”, kata batin
saya yang entah kenapa saat itu sedang dalam kondisi semangat 45.
Saya segera berwudhu dan bergegas masuk masjid.
Dapat shaf pertama. Alhamdulillah, mission accomplished. Setelah menaruh
“amunisi” yaitu tas berisi laptop, saya langsung menunaikan shalat tahiyatul
masjid. Mulanya saya tidak merasakan ada yang aneh dari suasana masjid ini,
tapi ketika saya sujud barulah saya menyadari lantai masjid ini dingin sekali.
Ternyata masjid ini sekarang ber-AC!
“Rabb, bukan AC yang aku cari, aku hanya ingin
shaf pertama. Tapi ternyata “bonus” ini Engkau berikan, alhamdulillah”, hati
saya berkata lirih.
Saat itulah ingatan saya melayang ke peristiwa
yang sudah saya ceritakan di atas. Hanya saja sekarang saya mendapati situasi berbeda.
Mengejar shaf pertama, ternyata mendapati masjid adem. Subhanallah! Dan ternyata bukan hanya itu bonusnya. Entah karena
memang kebiasaan yang jarang saya dengar, atau kebetulan sedang punya ide nyleneh,
salah satu pengurus masjid memberikan pengumuman sebelum khotbah yang agak di
luar kebiasaan. Jika masjid lain mengingatkan masalah shaf pertama, himbauan
mematikan handphone, jumlah infaq dan lain-lain, maka si Bapak secara
khusus mengumumkan tentang shaf pertama, komplit dengan penjelasannya. Si Bapak
sepuh itu bahkan mendoakan supaya para penghuni shaf awal bisa istiqomah datang
di awal waktu pada Jumat-jumat berikutnya, serta agar bisa menjadi contoh untuk
jamaah lain. “Wah, ngenyek tenan si Bapak iki”, gumam hati saya setengah
kecut setengah senang karena didoakan. Asli, itulah pengumuman sebelum khotbah
paling weird alias aneh bin ajaib yang pernah saya dengarkan.
Sampai waktunya shalat ditunaikan, saya masih merasa
malu bercampur senang dengan kejadian yang baru saya alami. Tak terasa setetes
air menitik dari sudut mata saat sujud saya tunaikan. “Duh Gusti, begini
caranya Engkau menyayangiku”, batin saya bergumam. Dan ajaibnya, saya seolah
merasakan Allah sedang dekat sekali dengan saya. Seakan Dia sedang mengajari,
agar saya selalu memprioritaskan Dia dalam urusan apapun, dan Dia Maha Tahu apa
kebutuhan saya.
“Gusti, Panjenengan saestu mboten sare”, batin saya
kembali berucap, sambil menstarter kendaraan, kembali menjalani kesibukan di
tengah cuaca Surabaya yang gerah.